Definisi
Haal
Haal secara bahasa
adalah suatu tingkah yang dijalani seseorang baik tingkah baik atau tingkah
jelek. Secara istilah Haal ialah isim sifat yang menjadi ma’mul fudllah yang
dibaca nashab dan menerangkan tingkahnya Shohibul Haal (pelaku Haal).[1] Dalam
pengertian yang lain Haal adalah washf (sifat)
yang fadhlah (lebihan) lagi munthasib(di
nashabkan) dan memberikan keterangan keadaan.[2] Contoh
: اَذْهَبُ مُنْفَرِدًا (aku akan
pergi sendirian). Penjelasannya : اَذْهَبُ sebagai ‘amil yang
menashobkan lafadz مُنْفَرِدًا.
B. Rangkaian Tarkib Haal
Haal mempunyai susunan atau tarkib yang terdiri dari
‘Amil, Shohibul Haal, dan Haal.
1. ‘Amil adalah lafaz yang membentuk Haal,
menjadikan Haal di nashab. ‘Amil Haal itu terdiri dari Fi’il Madhi, Fi’il
Mudhari, Fi’il Amr, dan Isim Fi’il.
2. Shohibul Haal adalah subjek atau pelaku
yang dijelaskan oleh Haal tentang keadaannya yang manakala isim dzohir dan ism
dhomir.
3. Haal adalah seperti halnya tertera di
atas hanya saja penekanannya Haal ialah lafadz yang menjelaskan tentang keadaan
Shohibul Haal ditinjau dalam maknanya karakter Haal tidak tetap.
Contoh : اَذْهَبُ مُنْفَرِدًا (aku akan pergi sendirian ).
Lafadz مُنْفَرِدًا dinashabkan oleh ‘amil
yaitu lafadzاَذْهَبُ sedangkan Shohibul
Haalnya ialah dlomir yang tersimpan yaitu انا .
C. Syarat-syarat Haal
Syarat-syarat Haal terdiri dari :
1. berupa isim sifat,
dalam arti isim yang menunjukkan arti dan membentuk karakter Haal tersebut,
dalam hal ini kalimat isim adakalanya shorih dan muawwal bisshorih.
2. berupa ma’mul fudllah,
dalam arti tidak menjadi pokok isnad yaitu mubtada’ khobar atau fi’il fa’il
(subjek dan kata kerja), lawan kata ma’mul fudllah ialah ‘umdah (pokok isnad)
3. dibaca nashab bila
tidak berupa jumlah, sedangkan bila berupa jumlah maka dibaca mahal nashab
(menduduki jabatan nashab)
4. menjelaskan keadaan atau tingkah
D. Kondisi-kondisi yang
Berkaiatan dengan Haal
1. kondisi ‘amil
Kondisi ‘amil yang menashabkan Haal adakalanya berupa
fi’il mutashorrif contoh : جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا (zaid telah
datang seraya berkendaraan) atau isim sifat yang keluar dari fi’il mutashorrif
(Fiil yang bisa ditashrif) seperti halnya isim fa’il atau isim maf’ul atau
sifat musyabbihah (cabang dari fi’il mutashorrif)
Contoh :
Ø Isim Fa’il : زَيْدٌ جَا لِسٌ بَا كِياً (Zaid orang yang duduk seraya menangis)
Lafadz جَا لِسٌ menjadi ‘amilnya بَا
كِيًا dikarenakan lafadz جَا لِسٌ cabang dari fi’il mutashorrif جَلَسَ
Ø Isim Maf’ul : زَيْدٌ
مَضْرُوبٌ مُجَرَّدًا .(zaid orang yang dipukul)
Lafadz مَضْرُوبٌ menjadi ‘amilnya مُجَرَّدًا yang
memposisikan cabang atau pengganti ضَرَبَ
atau berupa af’al tafdhil yaitu isim yang mempunyai
makna lebih.
Contoh : زَيْدٌ اِنْفَعُ
القَوْمِ مَعْلُماً. (zaid memberi manfa’at kepada kaum yang alim).
2. Kondisi Shohibul Haal
Shohibul Haal berupa isim ma’ritfat, sama saja berupa
isim dlohir atau ism dlomir, maka dari itu jika Shohibul Haal berupa nakiroh
maka harus ada musawwighnya (sesuatu yang memperbolehkan Shohibul Haal berupa
nakiroh) diantara musawwigh Shohibul Haal adalah :
a. Hal didahulukan dan
Shohibul Haal diakhirkan yang dikarenakan berupa jar majrur atau dlorof.
Contoh :
فِي الدَّارِ قَائِماً
رَجُلٌ (Di rumah terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
Lafadz رَجُلٌ menjadi Shohibul
Haal قَائِماً dikarenakan susunan
kalamnya berupa jar majrur.
عِنْدَكَ قَئِماً
رَجُلٌ (Di sisimu terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
Lafadz رَجُلٌ menjadi Shohibul
Haal قَائِماً dikarenakan susunan
kalamnya berupa dhorof.
b. Shohibul Haal
ditakhshish dengan sifat, ada kalanya ditakhshish dengan idlofah.
contoh : فِيْهَا يَفْرَقُ كُلّ
امرٍ حَكِيْمٍ امرًا مِنْ عِنْدَ ناَ (pada malam itu dijelaskan segala
urusan yang penuh hikmah yaitu urusan yang besar disisi kami)
Lafadz كُلّ امرٍ menjadi shohibul haal
lafadz امرًا karena adanya sifat
lafadz حَكِيْمٍ
Dan ada kalanya ditakhshish dengan Idhofah,
contoh : فِي اَرْبَعَةِ
اَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّا ئِلِيْنَ (dalam empat
masa (Penjelasan sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya)
Dan ada kalanya ditakhshish dengan ma’mulnya,
contoh : اَجِبْتُ مِنْ ضَرْبٍ
اَخُوْكَ شَدِيْدًا (saya membalas dari pukulan saudaramu yang
sangat keras)
Lafadz ضَرْبٍ menjadi Shohibul Haal
lafadz شَدِيْدًا dikarenakan adanya
ma’mul yang menentukannya yaitu lafadz اَخُوْكَ yang menjadi fa’ilnya
masdar (ضَرْبٍ).
c. Shohibul Haal jatuh
setelah nafi atau Syibh nafi (nahi atau istifham)
Contoh :
Shohibul Haal yang jatuh setelah nafi : مَا جَاءَ رَجُلٌ رَ كِيبًا (tidak ada laki-laki satu datang seraya
berkendaraan)
Lafadz مَا menjadi nafi,
lafadz جَاءَ menjadi ‘amil,
lafadz رَجُلٌ menjadi shohibul haal,
lafadz رَ كِيبًاmanjadi haal.
Shohibul Haal yang jatuh
setelah Syibh nafi
Nahi : لاَ تَضْرِبْ رَجُلاً
قَائِمًا (kamu tidak memukul seorang laki-laki yang berdiri)
Lafadz menjadi nahi, lafadz
Istifham : هَلْ جَاءَ رَجُلٌ
رَكِيبًا (apakah datang laki-laki seraya berkendaraan)
3. Kondisi Haal
a. Haal berupa mutanaqqil
lagi musytaq, artinya haal tersebut tidak tetap pada suatu sifat bahkan bisa
berubah. Contoh : جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا (zaid datang
seraya berkendaraan)
b. Terkadang Haal juga banyak terjadi
dari isim jamid, jika berupa isim jamid, maka harus ditakwili dengan isim
Musytaq, yaitu terdapat pada:
1) isim yang menunjukkan
arti harga. Contoh : بِعْهُ مُدّاً بِدِرْهَمٍ (juallah
makanan itu satu dirham permudnya)
2) isim yang menunjukkan
arti tafa’ul (interaksi). Contoh : بِعْتُهُ يَدًّا
بِيَدٍّ (aku telah menjual barang secara serah terima)
3) isim yang menunjukkan
tasybih (perumpamaan). Contoh : كِرَّ زَيْدٌ اَسَدً(zaid telah
maju menyerang bagaikan singa)
4) isim yang menunjukkan
arti tertib. Contoh : اُدْخُلُوْا رَجُلاً (beberapa
laki-laki seraya masuk)[4]
c. Haal berupa isim
nakiroh, apabila bentuk lafadznya berupa ma’rifat maka maknanya ditakwilkan
nakiroh. Contoh : اِجْتَهِدُ وَحْدَكَ (berjihadlah
kamu sendirian)
d. Haal berupa jumlah.
Contoh :
جَاءَ زَيْدٌ
وَهُوَنَاوٍرِحْلَة ً (zaid datang sedangkan dia berniat untuk
pergi) Jumlah Ismiyah
E. Faedah Haal
1. Mu’assisah : Haal yang
untuk menyempurnakan kalam yang dirasa kurang sempurna bila kalam tersebut
tidak mencantumkan Haal.
2. Mu’akkidah
a. Mu’akkidah lil ‘Amil :
posisi hal memperkuat makna ‘amil dalam mengutarakan kalam pada mukhottab.
Contoh : لاَ تَعْثَ فِي الاَ رْضِ مُفْسِدًا (janganlah
kamu merajalela dimuka bumi seraya menimbulkan kerusakan).
b. Mu’akkidah lil
Shohibil Haal
Contoh : قَامَ القَوْمُ
كُلِّهِمْ جَمِيْعاً (semua kaum berdiri seraya
bersamaan). Lafadz جَمِيْعاً berposisi memperkuat dhomir هُمْ yang kembali pada lafadz اَلقَوْمُ
c. Mu’akkidah li madmunil
jumlah qoblaha
Dalam penegasan ini Haal harus disimpan, ‘amilnya dan
lafadz Haalnya harus berakhiran (jatuh setelah jumlah) yang jumlah tersebut
harus berupa isim ma’rifat lagi jamid. Contoh : اَنَا زَيْدٌ مَعْرُوْفاً (saya zaid seraya mengerti).[6] Dalam
contoh tersebut haal berposisi menguatkan jumlah sebelumnya sedang yang
menashobkan haal ialah amil yang disimpan yaitu مَعْرُوْفاً اَحَقُّ
F. Peletakan Haal, Amil
dan Shohibul Haal
Kebanyakan yang sering
berlaku keadaan Haal ialah diakhiran dari amil dan shokhibul haalnya tetapi
dalam kondisi tertentu haal dapat mendahului amil dan shohibul haalnya yaitu :
1. Ketika Shohibul haal
berupa nakiroh
2. Ketika amil berupa
isim sifat yang cabang dari fi’il mutashorif
3. Amil berupa afalut
tafdhil yang ada di tengah-tengah antara dua haal yang mempunyai shohibul haal
dua dan antara shohibul haal dua tersebut yang satu adalah melebihi dalam suatu
tingkah atas shohibul haal yang lain. Haal diakhirkan ketika amilnya berupa
lafadz yang disimpani makna fi’il tanpa hurufnya. Contoh : تِلْكَ
هِنْدٌ مُجَرَّدَة
Adakalanya haal boleh didahulukan dan boleh diakhirkan
ketika amil haal berupa fi’il mutashorif atau berupa sifat yang menyerupai
fi’il mutashorif.[7]
No comments:
Post a Comment