Pengertian Fi’il ta’ajjub
Ta’ajjub berarti menyatakan kekaguman.[1] Dari sumber lain, mengatakan bahwa mengherankan keindahan, kemolekannya, kebesarannya, kemurahan hatinya, maupun hal-hal yang jelek dalam hatinya.[2]Dan dalam pemaparan lain bahwa fi’il ta’ajjub yaitu perasaan di dalam hati ketika merasakan adanya suatu hal yang dibodohi penyebabnya.[3]
Fi’il ta’ajjub mempunyai shigot ada dua macam, yaitu ikut wazan ماافعل (maa af’ala) dan افعل به (af’il bih). Kedua shigot ta’ajjub (baik yang ikut wazan ماافعل dan افعل به) itu hukumnya Jamid/Ghairu Muthosarrif (baik yang ikut aslinya itu dari Fi’il Muthosarrif).
B. Bentuk-bentuk Fi’il Ta’ajjub
Adapun bentuk(shigot) dari fi’il ta’ajjub adalah sebagai berikut:
1. Shigot ماافعل
Adapun contoh dari bentuk ini adalah sebagai berikut:
مَا اَحْسَنَ زَيْدًا = Alankah baiknya si Said
Lafaz “maa” adalah mubtada (ini kata khusus permulaan kata fi’il ta’ajjub) bermakna sesuatu, dan “af’ala” adalah fi’il madhi (kata kerja lampau bangsa tsulatsi mazid / berasal dari tiga huruf yg menerima tambahan), sedangkan fa’ilnya (subjeknya) adalah dhamir (kata ganti) yg tersembunyi wajib disembunyikan, yg kembali kepada “maa”, dan isim yang dinashabkan adalah “muta’ajjub minhu”, yang berkedudukan sebagai “maf’ul bih” sedangkan jumlah semuanya adalah khabar dari “maa”.
2. Shigot افعل به
Adapun contoh dari shigot ini adalah:
اَحْسِنْ بِزَيْدٍ = Alangkah baiknya sa Said
Lafaz “af’il” adalah fi’il yang lafaznya berbentuk amar (perintah), tetapi maknanya adalah ta’ajjub (bukan perintah), dan di dalamnya tidak mengandung dhamir. Sedangkan “bi zaidin” adalah fa’ilnya.
Bentuk asal dari kalimah اَحْسِنْ بِزَيْدٍ (alangkah baiknya sa Said) adalah اَحْسَنَ زَيْدٌ (si Said menjadi orang yang baik), kemudian bentuknya diubah menjadi amar, maka dianggap tidak baik bila secara langsung disandarkan kepada isim zhohir, untuk itulah ditambahkan huruf “ba” pada fa’ilnya.[4] (Wallohu ‘alam)
Kalimah yang menyandar/sanding kepada fi’il ta’ajjub wazan ماافعل maka harus dinashabkan. Contoh seperti مَا اَحْسَنَ زَيْدًا, ilat sebabnya harus dinashab: karena sesungguhnya “ma’mul maa fi’il ta’ajjub” itu seperti tambahan/fadhlah. Adapun haknya fadhlah terbukti dinashabkan.
Adapun kalimah kalimah yang menyandar kepada fi’il ta’ajjub wazan افعل maka kalimah itu di jarkan ole huruf jar zaidah laziimiyah. Contoh seperti اَحْسِنْ بِ زَيْدٍ
Apabila hendak membuat fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu harus menyamakan beberapa persyaratan. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut:
a. Fi’il itu dari fi’il tsulatsi mujarrad
b. Fi’ill tersebut dapat di tashrif
c. Artinya bisa menunjukkan arti lebih atau kurang, seperti lebih besar, lebih kecil, dan sebagainya.[5]
d. Berasal dari fi’il tam
e. Fi’ilnya tidak dinafikan/manfi (tidak didahului oleh huruf yang menunjukkan arti tidak sepertiما)
f. Tidak boleh fi’il yang mempunyai shigot yang sama kepada wazan افعل
g. Fi’ilnya tidak boleh majhul
Bilamana membuat ta’ajjub dari fi’il-fi’il yang tidak mencukupi persyaratan di atas, maka fi’il itu apabila dijadikan fi’il ta’ajjub gantikan saja oleh lafaz اَشْدِدْ atau boleh lafaz مَااَشَدَّ serta yang semisalnya (اكثر dan اعظم dll) kemudian diambil masdharnya, dan di baca nashab bila jatuh setelah lafaz مَااَشَدَّ dan yang lainnya. Dan juga harus di jar dengan الباءالزائدة bila jatuh setelah lafaz اَشْدِدْ dan yang lainnya. Contohnya adalah وَاَعْظِمْ بِاَنْ يُغْلَبَ ,(Alangkah gelap harinya) , وَاَشْدِدْ بِسَوَادِ يَوْمِهِ (Alangkah bisadikalahkan ia itu).
Tapi jika ada dalam kalimah bahasa Arab, fi’il yang tidak memenuhi tujuh persyaratan diatas dan tanpa mendatangkan lafaz اَشْدِدْ dan مَااَشَدَّ serta yang semisalnya, maka itu hukumnya syads, tidak boleh diqiaskan ( jadi hanya terbatas dengan apa yang ada dikalangan orang Arab itu saja, dan kita tidak dapat membuatnya dari kita sendiri).[6]
Ma’mul fi’il ta’ajjub itu tidak boleh didahulukan atas fiil ta’ajjubnya. Maka tidak bolh mengatakan seperti kalimah مَا اَحْسَنَ زَيْدٌ ataupun بِزَيْدٍاَحْسِنْ. Ma’mul tersebut harus bersambung dengan fiil ta’ajjub, tidak boleh dipisah dengan pemisah apapun kecuali jika berupa huruf atau jar ma’rur yang keduanya juga menjadi ma’mul dari fiil ta’ajjub, maka para pakar ilmu nahwu berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkannya.[7]
Adapun perkara antara fi’il ta’ajjub dengan ma’mulnya dipisah oleh “Huruf Jar”, atau “zhorof” (keterangan waktu atau tempat), maka fi’il itu hukumnya rebutan kaol.[8] Menurut sebagian kaol “Jamaatu Nahwiyyin” serta Imam Ajjurumi, boleh dipisah dengan “zhorof” atau “jar-majrur”. Menurut sebagian lagi tidak boleh, yaitu menurut Imam Akhfasy dan Imam Mubarrod.
No comments:
Post a Comment